'/> Makalah Ushul Fiqih Mahkum Fih

Info Populer 2022

Makalah Ushul Fiqih Mahkum Fih

Makalah Ushul Fiqih Mahkum Fih
Makalah Ushul Fiqih Mahkum Fih
MAHKUM FIH
Revisi Makalah
 Disusun guna Memenuhi Tugas Akhir Semester III
Mata Kuliah : Ushul Fiqih
Dosen Pengampu : 

Sebelum kita mempelajari banyak wacana Ilmu Fiqh Makalah Ushul Fiqih Mahkum Fih


Disusun Oleh Kelompok 9 :
1................................................

 


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KUDUS
JURUSAN TARBIYAH / PAI
TAHUN 20xxxxx

A.    Pendahuluan
Sebelum kita mempelajari banyak wacana Ilmu Fiqh, setidaknya kita pelajari bagaimana hukum-hukum Fiqh berdasarkan syara’ terlebih dahulu. Banyak dalam realita kita sehari-hari yang mana penggunaan Ilmu Fiqh dengan cara mereka sendiri, atau bisa disebut menciptakan aturan sendiri. Setiap aturan dari hukum-hukum syar’i itu tidak sanggup bersangkutan dengan salah satu perbuatan mukallaf dari segi tuntutan, menyuruh pilih atau menempatkan.
Dari suatu ketetapan dikatakan bahwa yang diberati itu tidak lain selain dari dengan perbuatan. Artinya hukukm syar’I taklifi itu tidak bersangkut selain dari perbuatan mukallaf. Apabila aturan syar’i itu merupakan wajib atau mandub, maka perintahnya itu jelas. Karena persangkutan wajib itu ialah perbuatan wajib atas jalan yang pasti.
Persangkutan mandub ialah perbuatan yang disunnahkan, bukan atas jalan perintah dan pasti. Maka taklif disini dalam dua hal dengan satu perbuatan. Apabila aturan syar’i itu berupa haram atau makruh, maka si mukallaf di sini berada pada dua hal. Dia juga memperbuat. Karena ia menahan dirinya dari memperbuat yang haram atau yang makruh.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan pemahan diatas, kami sanggup menyimpulkan beberapa pokok permasalahan diatas, yakni sebagai berikut:
1.      Apa pengertian dari Mahkum Fih ?
2.      Apa saja syarat Mahkum fih?

C.     Pembahasan
1.      Pengertian Mahkum Fih
Mahkum Fih ialah perbuatan mukallaf (manusia) yang bekerjasama dengan aturan syara’.[1] Allah SWT berfirman dalam kitab sucinya :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman tepatilah janjimu
(QS Al Maidah: 17 )

يَآأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا تَدَايَنتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوهُ
Artinya : hai orang-orang yang beriman, apabila kau bermuamalah, tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kau menuliskannya.(QS Al  Baqarah : 282)
Yang dipergunakan dari pembicaraan ini bersangkutan dengan salah satu pembicaraan si mukallaf, yaitu menuliskan utang piutang. Hukumnya di sini ialah Mandub (sunnah). Turunnya ayat ini dimaksudkan biar dari kedua belah pihak yang mempunyai ikatan perjanjian utang piutang atau dalam hal muamalah tidak dirugikan satu sama lain lantaran adanya suatu janji dan bukti baik tertulis maupun saksi dari persetujuan kedua belah pihak. Agar tidak terjadi pertikaian diantara keduanya.
Firman Tuhan dalam Al-Quran Q.S. Al An’am ayat 151*
 wur (#qè=çGø)s? š[øÿ¨Z9$# ÓÉL©9$# tP§ym ª!$# žwÎ) Èd,ysø9$$Î/ 4 ö/ä3Ï9ºsŒ Nä38¢¹ur ¾ÏmÎ/ ÷/ä3ª=yès9 tbqè=É)÷ès? ÇÊÎÊÈ                                                                                              

yang berarti “dan janganlah kau membunuh diri”. Pengharaman yang diambil dari firman tersebut bekerjasama dengan salah satu perbuatan para mukallaf yaitu membunuh jiwa, maka ia dijadikan sebagai yang diharamkan.
Haram dipergunakan dari pembicaraan ini bersangkut dengan salah satu perbuatan mukallaf, yaitu membunuh diri.maka disini hukumnya haram. Allah berfirman dalam al-Quran, “dan janganlah kau menentukan yang buruk-buruk kemudian kau nafkahkan kepadanya “. Makruh yang dipergunakan dari pembicaraan ini bersangkut dengan salah satu perbuatan si mukallaf yaiu menafkahkan harta yang buruk. Di sini hukumnya ialah makruh. Allah berfirman “Barang siapa diantara kau yang sakit atau dalam perjalanan maka wajiblah baginya berpuasa sebanyak hari yang dtinggalkannya itu pada hari yang lain. Pembicaraan ini bergantung dengan sakit dan perjalan. Kedua hal ini hukumnya mubah untuk memperbukakan puasa. [2]
Mahkum Fih juga bisa didefinisikan sesuatu yang dikehendaki oleh pembuat aturan untuk dilakukan atau ditinggalkan oleh insan (mukallaf), atau dibiarkan oleh pembuat aturan untuk dilakukan atau tidak. Dalam istilah Ulama’ Ushul Fiqh, yang dimaksut Mahkum fih atau Obyek Hukum ialah perbuatan itu sendiri. Hukum itu berlaku pada perbuatan dan bukan pada dzat. Umpamanya “daging babi”. Pada daging babi itu tidak berlaku hukum, baik suruhan atau larangan. Berlakunya aturan larangan ialah pada “memakan daging babi” yaitu sesuatu perbuatan memakan, bukan pada zat daging babi itu.
Hukum syara’terdiri atas dua macam yaitu aturan Taklifi dan aturan Wadh’i. aturan Taklifi terperinci menyangkut perbuatan mekallaf, sedangkan sebagian aturan wadh’i ada yang tidak bekerjasama dengan perbuatan mukallaf menyerupai tergelincurnya matahari untuk masuknya kewajiban shalat dhuhur. Tergelincirnya matahari itu sebagai lantaran ialah hukm wadh’i, dan lantaran ia tidak menyangkut perbuatan mukallaf, maka ia tidak termasuk objek hukum
Memang perbuatan itu menempel pada insan sampai kalau suatu perbuatan telah memenuhi syarat sebagai objek hukum, maka belaku pada insan yang mempunyai perbuatan itu beban aturan atau taklif. Dengan demikian untuk menentukan apakah seseorang dikenai beban aturan suatu perbuatan, tergantung pada apakah perbuatannya itu telah memenuhi syarat untuk menjadi objek hukum[3]
   
2.      Syarat Mahkum Fih
Perbuatan yang sah berdasarkan syara’ untuk diharuskan mempunyai tiga syarat:
Ø  Tuntutan perbuatan itu harus diketahui mukallaf secara terperinci sehingga ia bisa melaksanakannya sebagaimana yang dituntutkan. Atas dasar ini nash al-Qur’an yang masih global artinya belum terperinci maksudnya, tidak sah berdasarkan mukallaf untuk melakukannya kecuali sesudah menerima keterangan dari Rasulullah SAW. Misalnya firman Allah SWT.
فمن كان منكم مريضااوعلى سفرفعدةمن ايام اخر                                              
Artinya “maka barang siapa diantar kau ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka). Maka wajib baginya berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari yang lain”. Nash al-Qur’an yang belum menjelaskan rukun, syarat dan cara melaksanakannya. Demikian pula dengan haji, puasa, zakat dan semua bentuk perbuatan yang bekerjasama dengan tuntutan syari’ yang bersifat global yang tidak diketahui maksudnya, maka tidak sah dituntutkan kepada mukallaf untuk melaksanakannya kecuali sesudah menerima penjelasan. Oleh lantaran itu Allah memberi kekuasaan kepada Rasulnya untuk memperlihatkan klarifikasi dengan firmannya:
وَأَنزَلْنَآ إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَانُزِّلَ إِلَيْهِمْ
Dan kami turunkan kepadamu al-Qur’an, biar kau membuktikan kepada umat insan apa yang telah diturunkan kepada mereka. (QS. An-Nahl: 44)[4]
Ø  Hendaknya diketahui bahwa tuntutan itu keluar dari orang yang punya kekuasaan menuntut dan dari orang yang hukumnya wajib diikuti mukallaf. Karena dengan pengetahuan ini keingina mukallaf akan mengarah untuk mengikuti tuntutan itu.
        Hendaklah diketahui bahwa taklif itu dimilki oleh orang yang mempunyai kekuasaan taklif (paksaan). Dari orang yang harus diikuti oleh mukallaf wacana hukum-hukumnya. Denagn ilmunya inilah diarahkan maksudnya untuk mengikuti perintahnya itu.
        Harus pula diperhatikan bahwa yang dimaksud dengan ilmu mukallaf ialah sesuatu yang dipikulkan kepada mukallaf, dan dengan itulah ia mengetahuinya. Bukan mengetahuinya itu dengan perbuatan. Apabila orang itu baligh dan berakal, ia sanggup mengetahui hukum-hukum syar’I dengan sendirinyaatau bertanya kepada orang-orang yang mengetahuinya.[5]
Ø  Perbuatan yang dibebankan kepada mukallaf harus berupa sesuatu yang mungkin, atau bisa dilakukan atau dihindari oleh mukallaf.
1.      Tidak sah berdasarkan syara’ pembebanan yang mustahil, baik tidak mungkin lantaran perbuatan itu sendiri atau tidak mungkin lantaran yang lain. Mustahil dengan sendirinya artinya tidak mungkin berdasarkan akal, yaitu sesuatu yang tidak sanggup digambarkan adanya, menyerupai memadukan dua hal yang bertentangan, contohnya mewajibkan dan mengharamkan satu perbuatan dalam waktu yang bersamaan kepada satu orang, atau memadukan antara dua hal yang berlawanan, menyerupai tidur dan menjaga dalam satu waktu. Seperti sabda Rasulullah yang berbunyi;
صلواكمارايتموني اصلي                                                                           
Sedangkan tidak mungkin lantaran yang lain atau yang bersifat kebiasaan ialah sesuatu yang sanggup digambarkan oleh akal, tetapi tidak berlaku berdasarkan aturan alam atau berdasarkan kebiasaan, menyerupai orang yang terbang tanpa sayap, tumbuhnya tanaman tanpa biji. Karena sesuatu yang tidak sanggup yang tidak sanggup digambarkan oleh nalar atau sopan santun tidak mungkin dipaksakan untuk dikerjakan dan itu tidak kemampuan mukallaf.
2.      Tidak sah berdasarkan syara’ membebani seorang mukallaf biar orang lain berbuat atau meninggalkan suatu perbuatan. Karena melaksanakan atau meninggalkan perbuatan orang lain itu ialah tidak mungkin bagi dirinya sendiri. Sesuatu yang dibebankan kepada mukallaf yang dikhususkan untuk yang lain ialah nasihat, perintah kebaikan dan melarang kejahatan, inilah yang mungkin baginya.
Begitu juga tidak sah berdasarkan syara’, membebani seseorang dengan sesuatu yang bersifat watak, yang berupa tanggapan dari sebab-sebab naluri, sedangkan ia tidak mungkin mencari dan mengusahakan. Misalnya emosi saat marah, bermuka merah saat malu, cinta, benci, sedih senang dan ketakutan saat ada sebab-sebabnya, ada dan tidaknya hal itu ialah tunduk kepada aturan alam (kehendak Allah), bukan harus tunduk kepada kehendak dan perjuangan manusia, ini sudah keluar dari kemampuan insan dan bukan sesuatu yang mungkin.[6]
Persyaratan ketiga tersebut bahwa perbuatan itu berada dalam batas kemampuan mukallaf menjadi pokok pembicaraan mahir Ushul Fikih dalam hal objek hukum. Mereka sepakat dalam hal tidak dituntutnya seorang mukallaf melaksanakan sesuatu perbuatan kecuali terhadap perbuatan yang ia bisa melaksanakannya. Seseorang hamba tidak akan dituntut untuk melaksanakan sesuatu yang tidak mungkin melakukannya. Yang menjadi dasar ketentuan ini ialah firman Allah yang berbunyi;
لايكلف الله نفسا الاوسعها                                                            
Yang artinya sebagai berikut; “Allah tidak akan membebani hambanya kecuali semampunya.”
Menurut sesorang melaksanakan sesuatu yang tidak mungkin dilakukannya berarti memberatkan seseorang melaksanakan sesuatu sedangkan Allah menginginkan fasilitas bagi umat, bukan kesulitan sesuatu, dengan firman Allah dalam surat al-Baqoroh 2: 185

3 ߃̍ムª!$# ãNà6Î/ tó¡ãŠø9$# Ÿwur ߃̍ムãNà6Î/ uŽô£ãèø9$# (
Allah menghendaki untukmu fasilitas dan tidak menghendaki darimu kesulitan.[7]

D.    Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, sanggup kami simpulkan yakni pengertian dari Mahkum fih ialah perlakuan mukallaf yang bekerjasama dengan aturan syara’, dan juga ada pendapat lain yang mengartikan bahwa objek aturan atau Mahkum Fih yaitu sesuatu yang dikehedaki pembuat aturan untuk dilakukan atau ditinggalkan oleh insan atau dibiarkan oleh pembuat aturan untuk dilakukan atau tidak.
Sedangkan syarat Mahkum Fih atau Objek Hukum tersebut kurang lebihnya dibagi menjadi tiga macam,
a.       Perbuatan itu sah dan terperinci adanya tidak mungkin memberatkan seseorang melaksanakan sesuatu yang tidak mungkin dilakukan menyerupai “mencat langit”
b.      Perbuatan itu tertentu adanya dan sanggup diketahui oleh orang yang akan mengerjakan serta sanggup dibedakan dengan perbuatan lainnya. Tidak mungkin berlaku taklif terhadap suatu perbuatan yang tidak jelas. Umpamanya menyuruh seorang menggantang angin.
c.       Perbuatan itu sesuatu yang mungkin dilakukan oleh mukallafdan berada dalam kemampuannya untuk melakukannya.
  

DAFTAR PUSTAKA
Syarifuddin, Amir, Ushul Fikih Jilid 1, PT Logos wacana ilmu, Pamulang, 1997
Wahab, Abdul khallaf, Ilmu Ushul Fikih, Pustaka Amani, Jakarta, 2003
Wahab, Abdul Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, Rineka Cipta, Jakarta, 1993
Umam, Khoirul, Ushul Fikih 1,Cv Pustaka Setia, Bandung, 2000



[1] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, Pustaka Amani. Jakarta, hal 177
[2] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Rineka Cipta. Jakarta hal: 155
[3] Amir Syarifudin, uShul Fiqh jilid 1, PT Logos Wacana Ilmu. Pamulang hal 350-351
[4] Ibid. Abdul Wahab Khallaf. Hal 179-180
[5] Ibid. Abdul Wahab Khallaf, Rineka cipta hal 157
[6] Op. Cit hal 181-183
[7] Op. Cit hal 351
Advertisement

Iklan Sidebar